Sepenggal Cita di Atas Kereta

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO

Siang itu panas seperti siang-siang sebelumnya. Matahari menggelayut angkuh di atas langit pinggiran Ibu Kota.

Adalah Nova, bocah perempuan kurus, yang duduk di kelas IV sekolah dasar dengan baju seragam merah putih. Ralat, baju seragam putih kekuningan, putih yang sudah sangat pudar. Keterbatasan ekonomi keluarganya membuat Nova tidak memiliki banyak baju seragam baru; dia harus puas dengan seragam lama yang tersisa.

Nova berjongkok di lantai kereta, bukan hanya karena tempat duduk yang tersisa di dalam gerbong sudah terisi, melainkan karena ia tahu diri.

Gadis berkulit cokelat itu seorang pelajar tanpa karcis yang menggantungkan cita-citanya di atas laju kereta.

Dia tidak sendiri, di sebelahnya duduk adik laki-lakinya, sedikit lebih pendek darinya, tetapi sama gelap kulitnya dan sama lusuh baju seragamnya.

Sang adik lelaki bernama Abil, duduk di kelas II sekolah dasar dengan tas besar berwarna merah yang berukuran lebih gemuk dari tubuhnya.

Kakak beradik itu mengawali aktivitas rutin dari Stasiun Cakung, Jakarta Timur, berlarian mengejar kereta kelas AC Ekonomi jurusan Bekasi-Jakarta Kota yang memiliki tarif Rp 4.500.

Untung para petugas penjaga kereta berbaik hati, mereka bisa naik tanpa karcis. Siapa tega melihat dua bocah kecil yang memiliki sorot mata lantang ingin bersekolah?

Begitu menaiki kereta, mereka sigap memilih gerbong terdepan dan berjongkok di sela ruang yang tersisa jika situasi sedang penuh.

Namun, jika tengah sepi, mereka beruntung bisa duduk di kursi di samping ibu-ibu baik hati.

Setelahnya mereka akan terdiam manis, menunggu kereta tumpangan tiba di Stasiun Kramat Sentiong, Jakarta, dengan pandangan mata yang sekan melolong, begitu haus akan pendidikan dan percaya cita-cita bukan sekadar harapan kosong.

Terkadang, pandangan simpati mengalir dari penumpang kereta, melihat dua sosok rapuh yang berdesakan tanpa didampingi orangtua menuju sekolah tempat meraih cita.

Sungguh situasi yang kontras dengan pemandangan di sekolah-sekolah elite, para pelajar necis yang turun dari mobil-mobil mengilat dengan seragam merah pekat dan putih yang terawat.

Nova dan Abil tinggal bersama ayah yang bekerja sebagai pegawai bengkel dan ibu rumah tangga di wilayah Cakung, Jakarta Timur, yang berbatasan langsung dengan Kota Bekasi, Jawa Barat.

Dari rumahnya di pinggiran Ibu Kota, mereka harus menempuh jarak berpuluh kilometer untuk menembus gerbang sekolah di SD 16 Petang Johar Baru, Jakarta Timur, sungguh jarak yang jauh, bahkan terlalu jauh untuk ukuran pelajar SD.

Bapak yang selalu pulang malam dan ibu yang harus merawat adik yang masih kecil membuat keduanya sangat jarang sekali bisa diantar ke sekolah.

Abil dan Nova bertutur, mereka dulu tinggal di rumah yang berjarak sangat dekat dengan sekolah, tetapi hampir setahun belakangan mereka pindah ke wilayah Cakung yang sangat jauh dari sekolah.

Karena berbagai alasan, mereka tetap melanjutkan sekolah dasar di sekolah lama meski untuk itu mereka harus berjuang sepuluh kali lebih berat agar bisa sampai di sekolah dengan selamat.

Akan tetapi, situasi itu tidak lantas membuat semangat mereka surut. Mereka terus saja rajin berangkat cepat-cepat, melawan sang surya yang panas membara tanpa rasa kecut.

Jadwal sekolah mereka yang dimulai di siang hari membuat mereka memiliki waktu untuk berjalan kaki dari depan pintu rumah menuju stasiun dan menunggu kereta lewat yang bersahabat sehingga tiba di sekolah tanpa telat.

Dan, mentari siang itu menjadi saksi betapa Nova dan Abil kecil berjuang keras agar cita-cita mereka tidak terempas. Cita yang mereka gantungkan di atas kereta.

Bahkan, Abil kecil bercita-cita menjadi seorang polisi. Cita-cita yang dimulainya dari sudut kereta yang melaju cepat seiring dengan niat mereka yang hebat.

Ini hanya sepenggal kisah kecil mengenai sepasang saudara yang berjuang meraih pendidikan. Meski memiliki keterbatasan ekonomi, semangat meraih cita tidak pernah mati.

Mereka hanya contoh kecil dari ribuan kisah anak Indonesia yang gigih menempuh pendidikan agar cita-cita dapat teraih.

Kisah ini tentu sejalan dengan program pemerintah untuk memfokuskan program penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun pada 2011, sebagaimana amanat UUD 1945 dan salah satu tujuan pembangunan millenium (MDGs).

Menteri Pendidikan Nasional M Nuh mengatakan ada lima fokus program Kemendiknas pada 2011. Salah satunya yang masih menjadi fokus adalah penuntasan pendidikan dasar sembilan tahun.

Untuk menyukseskan program itu, pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dengan total anggaran Kemendiknas pada 2011 mencapai Rp 55 triliun dengan rincian belanja pegawai mencapai 13,1 persen, belanja barang 33,9 persen, belanja modal 14,4 persen, dan bantuan sosial sebesar 38,7 persen.

Semoga anggaran yang cukup besar itu bisa terserap dengan optimal melalui program-program pendidikan yang baik yang bisa mengakomodasi hak seluruh anak Indonesia dalam memperoleh pendidikan.


Oleh : Wuryanti Puspitasari

Categories:

Leave a Reply

Popular Posts